Rabu, 18 September 2013

Resume "Konstitusi Australia"

Nama   : Azizah Syiami Mutik
NIM    : F1I011015
Konstitusi Australia
Konstitusi Australia yang disebut sebagai Commonwealth Constitution of Australia (Konstitusi Federal) awalnya dibuat dengan tujuan untuk memajukan dan melindungi kepentingan tiap koloni. Ada enam koloni yang bergabung dalam Federasi Australia: Tasmania; New South Wales; Victoria; South Australia; Queensland; dan Western Australia. Awalnya tiap koloni memiliki pemerintahan koloni masing masing dengan sistem Westminster yang diadopsi dari Inggris, namun karena adanya tumpang tindih kepentingan yang meresahkan Kerajaan Inggris, dianggap perlu adanya penyatuan koloni. Faktor lain yang mempengaruhi adalah untuk melindung perekonomian Australia; pertahanan terhadap koloni baru yang lebih besar dari Jerman, Rusia, dll; pembatasan imigrasi untuk melindungi kaum buruh Australia; dan menumbuhkan nasionalisme sebagai masyarakat dengan jati diri Australia.
Konvensi Konstitusi Pertama yang diselenggarakan pada 1891 dihadiri oleh 6 koloni Australia dan Selandia Baru. Konvensi ini gagal mencapai kesepakatan pembentukan kesatuan karena setiap delegasi masih mempertahankan kekuasaannya di pemerintahan koloni. Namun menjadi awal persiapan naskah konstitusi yang akan didiskusikan lebih lanjut. Konvensi Konstitusi Kedua berlangsung pada 1897/1898 dengan para delegasi yang dipilih mewakili koloninya, bukan pemerintah koloni. Pada konvensi ini delegasi Queensland tidak hadir, sementara Selandia Baru memilih untuk membentuk negara kesatuan. Orientasi dalam konvensi kedua ini adalah pembentukan federasi dan draf konstitusi Australia.
Perumusan konstitusi bukan tanpa kesulitan, beberapa diantaranya adalah: perumus ingin Australia tetap berhubungan baik dengan Ratu Inggris, di lain pihak juga ingin membuat pemerintah yang bertanggungjawab penuh; adanya keperluan untuk memberikan kekuasaan yang cukup pada pemerintah federal untuk melaksanakan fungsinya, juga ingin tetap mempertahankan kekuasaan dan identitas koloni; pemerataan antara koloni; dan lain-lain.
Hasil dari Konvensi Konstitusi Kedua adalah Commonwealth Constitution of Australia (yang bersifat sangat konservatif); membagi kewenangan pemerintah federal mencakup masalah pertahanan, luar negeri, mata uang, perbankan, pos dan telegraf, dan arbitrase konflik antar negara bagian; membagi kekuasaan menjadi 3 yaitu kekuasaan eksklusif, kekuasaan bersama, dan kekuasaan tersisa. Konstitusi menyepakati terbentuknya Negara Federal Australia melalui dua kali referendum dan akhirnya disahkan pada 1 Januari 1901.
Konstitusi Federal berisi 8 bab yang mengatur berbagai hal sebagai berikut:
Bab I terbagi atas lima bagian yang membahas mengenai Parlemen. Bagian pertama berisi penjelasan umum tentang parlemen, jabatan gubernur-jenderal, sidang parlemen, dan House of Representatives. Bagian kedua berisi tentang Senat, pemilu Senat, masa jabatan, penempatan, dll. Bagian ketiga mengenai House of Representatives berkaitan dengan pemilu langsung dengan masa jabatan 3 tahun. Bagian keempat mengatur hal-hal yang mempengaruhi kedua majelis. Bagian kelima, secara umum, membahas distribusi kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara bagian dan House of Representatives dengan Senat.
Bab II berisi ketentuan-ketentuan mengenai Pemerintahan Eksekutif terutama jabatan gubernur-jenderal dan Dewan Eksekutif. Sementara Bab III mengatur masalah peradilan, penetapan Pengadilan Tinggi, cara pengangkatan para hakim serta syarat-syaratnya. Bab IV mengenai keuangan dan perdagangan mencakup pertanggungjawaban keuangan pemerintah federal, pengaturan pembagian keuangan negara bagian, bea cukai dan perpajakan.
Bab V membahas mengenai negara-negara bagian, dan hubungannya dengan pemerintah federal dan konstitusi. Bab VI tentang negara-negara bagian baru, mengatur ketentuan mengenai pendaftaran atau pembentukan negara-negara bagian baru ke dalam federasi. Bab VII mengatur masalah lain-lain, yaitu kedudukan pemerintahan di Canberra dan mengatur pemberian kewenangan kepada gubernur-jenderal untuk mengangkat wakilnya. Bab VIII mengatur perubahan konstitusi dengan melakukan referendum.

Konstitusi dapat diubah berdasarkan 4 faktor: faktor anggota parlemen; faktor pemerintah federal; faktor munculnya teknologi baru; dan faktor peningkatan sumber-sumber keuangan pemerintah federal. Referendum dilakukan dengan 3 klausul. Pertama, perubahan harus mendapat persetujuan House of Representatives dan Senat; selanjutnya pilihan diserahkan pada pemilih; dan terakhir, jika disetujui, maka gubernur-jenderal akan menyetujui untuk diberlakukan perubahan.

Review Jurnal “Lobbyist Before The US Supreme Court”

Tugas Pengganti Mata Kuliah Polpem AS
Nama   : Azizah Syiami Mutik
NIM    : F1I011015

Review Jurnal “Lobbyist Before The US Supreme Court”

Tulisan Paul M. Collins Jr. mengenai pengaruh kelompok lobi melalui mekanisme Amicus Curiae terhadap hasil keputusan Juri dalam Pengadilan Tinggi AS menunjukkan bukti kuat bahwa kelompok kepentingan sangat efektif membentuk hasil akhir keputusan pengadilan. Hal ini didasarkan pada pengamatan selama 1946-1995.
Dalam dunia politik AS, posisi kelompok kepentingan cukup sentral, meski pelaksanaan kepentingannya digantungkan pada perwakilan dalam HoR dan Senat. Berperan mempengaruhi keseluruhan lembaga pemerintahan, kelompok kepentingan tidak hanya masuk ke lembaga eksekutif dan legislatif tetapi juga yudikatif, dalam hal ini Pengadilan Tinggi AS. Dalam Pengadilan Tinggi AS, ruang bagi suara kelompok kepentingan justru disediakan secara legal tanpa harus melalui perantara, yaitu dengan mekanisme yang disebut sebagai Amicus Curiae. Amicus Curiae adalah pernyataan yang disampaikan oleh kelompok kepentingan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil akhir keputusan pengadilan agar sesuai dengan arah kebijakan atau ideologi yang diharapkannya. Pernyataan yang disampaikan pada Juri haruslah jelas, legal, dan bersifat memberikan pandangan yang lebih luas atas kasus yang dibahas. Mekanisme Amicus Curiae terdapat di semua pengadilan di AS, tetapi memang lebih banyak terdapat di Pengadilan Tinggi daripada di Pengadilan Federal, Pengadilan Negara Bagian, dan Pengadilan Lokal.
Urgensi penelitian Collins menunjukkan bahwa sejauh ini penelitian mengenai peran Amicus Curiae dalam pembentukan keputusan Pengadilan Tinggi tidaklah cukup jelas. Hal ini dinyatakan dalam 3 alasan utama. Pertama, penelitian sebelumnya hanya mencakup sebagian kecil dari peran Amici (kelompok kepentingan yang menyampaikan Amicus Curiae) dalam Pengadilan Tinggi. Sehingga tidak bisa digeneralisasi sejauh mana Amici mempengaruhi keputusan Pengadilan Tinggi. Kedua, penelitian hanya didasarkan pada kurun waktu singkat sehingga, dalam ungkapan Collins, hanya akan menjadi artefak studi dan tidak bisa dijadikan teori. Ketiga, penelitian tidak menggunakan ukuran yang jelas untuk menentukan sejauh mana pengaruh Amicus Curiae dalam keputusan Pengadilan Tinggi. Ukuran yang biasa digunakan adalah berapa kemenangan gugatan yang didukung oleh Amici. Inti dari kesemuanya adalah bahwa penelitian sebelumnya hanya menjawab pertanyaan “apakah Amicus Curiae mempengaruhi keputusan Pengadilan Tinggi?”, bukan bagaimana atau sejauh mana pengaruh Amicus Curiae dalam keputusan Pengadilan Tinggi.
Collins mencoba memperbaiki pengertian dan pemahaman tentang Amicus Curiae dan mengapa ia mempengaruhi Pengadilan Tinggi. Amicus Curiae seperti telah dijelaskan di atas bertujuan untuk membuat hasil akhir Pengadilan Tinggi sesuai dengan arah ideologi yang diusungnya. Ada dua jenis tujuan Amicus Curiae, mempengaruhi keputusan Pengadilan Tinggi yang langsung berdampak pada gugatan, berarti gugatan yang didukung oleh Amicus Curiae, dimenangkan. Dan mempengaruhi keputusan Pengadilan Tinggi yang tidak langsung berdampak pada tuntutan tetapi bermanifestasi untuk diaplikasikan pada pengadilan lain yang secara hirarkial berada di bawah Pengadilan Tinggi. Artinya bahwa keputusan Pengadilan Tinggi bisa jadi tidak 100% sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Amici, tetapi poin-poinnya mengarah pada kerangka berpikir yang diusung oleh Amici. Dengan prinsip yurisprudensi yang ada dalam pengadilan, maka dalam kasus serupa pada pengadilan-pengadilan berikutnya hasil yang sudah ada akan dijadikan rujukan. Dengan demikian Amicus Curiae bermanifestasi dalam satu kasus tetapi bisa mempengaruhi banyak kasus serupa di semua negara bagian AS. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa mekanisme Amicus Curiae lebih banyak ada di Pengadilan Tinggi daripada pengadilan lokal.
Pengaruh Amici dalam Pengadilan Tinggi sangat berkaitan dengan keterbatasan kemampuan dan pemahaman Juri terhadap lebih dari 100 kasus yang ditangani selama satu tahun masa kerja. Kemampuan Juri mungkin hanya didasarkan pada putusan-putusan pengadilan sebelumnya pada kasus yang serupa, sekalipun ada bagian ahli yang menyiapkan dan menyediakan informasi lengkap bagi para Juri, hal ini masih dihambat dengan keterbatasan pemahaman Juri itu sendiri, sehingga di sinilah peran Amici. Pernyataan Amicus Curiae memberikan pandangan yang berbeda dengan konsekuensi luas terhadap dimensi sosial dengan keputusan tertentu saja. Amicus Curiae memberikan latar belakang informasi yang penting, mendiskusikan konsekuensi jangka panjang dari kebijakan potensial, dan tetap memasukkan norma-norma resmi dan presenden. Selain itu posisi penting Amicus Curiae juga didasarkan bahwa sebagian Juri enggan untuk mencari sendiri informasi mengenai kasus dan lebih memilih mendengarkan penjelasan Amici, sehingga dalam hal ini Amicus Curiae berperan memberikan pengetahuan kepada para Juri mengenai kasus secara menyeluruh, peran aktor-aktor, dan kemungkinan putusan terbaik yang bisa diberikan pada kasus yang dibahas, sekaligus berusaha sedekat mungkin dengan tujuan dan ideologi Amici. Fungsi ini banyak juga disyukuri oleh pada Juri yang sedianya kurang memahami kasus yang mereka hadapi, sehingga keberadaan Amicus Curiae sangat membantu memberi pandangan dan tata pembuatan putusan dengan mempertimbangkan jangka panjangnya. Dua poin inilah yang menjadi dasar mengapa Amicus Curiae mampu mempengaruhi, bukan hanya pemahaman Juri terhadap kasus, tetapi juga output putusan pengadilan yang diharapkan sesuai dengan pandangan dan ideologi amici.
Collins menyinggung peran Amici dan kemenangan suatu gugatan dalam variabel. Dukungan Amici merupakan variabel independen dan tingkat kemenangan gugatan yang didukung oleh Amici merupakan variabel dependen. Ada tiga bentuk pengaruh Amici terhadap kemenangan gugatan. Pertama, mempengaruhi output putusan pengadilan. Dalam hal ini, baik mendukung kelompok konservatif atau pun liberal, apabila Amici berhasil mempengaruhi keputusan akhir pengadilan, hal ini bisa menjadi parameter bukti kemenangan gugatan yang didukungnya. Kedua, variabel dependen dapat menjadi ukuran yang pasti akan pengaruh Amici hanya apabila keputusan pengadilan dapat dibedakan antara yang berdasarkan arahan ideologi dan hasil kemenangan atau kekalahan petisi. Ketiga, variabel independen/pengaruh Amici dapat mempengaruhi sikap pengadilan, atau artinya setelah mendapat pengaruh putusan dari Amici, maka akan ada manifestasi sikap pengadilan yang muncul apabila berhadapan dengan kasus-kasus lainnya yang serupa.
Cara yang digunakan Paul Collins untuk menghitung dorongan ideologi Amicus Curiae terhadap putusan pengadilan memuat dua variabel tambahan, yaitu liberal dan konservativ. Skor 1 apabila pengadilan memberi putusan liberal (maupun konservativ) dan enam Amici mendukung, dan skor 0 bila putusan pengadilan ditentang oleh keenam Amici. Sementara untuk menghitung pengaruh terhadap pembuatan kebijakan pengadilan, dukungan yang disampaikan oleh pengacara menjadi faktor penilaian. Apabila pengacara konservatif menyampaikan Amicus Curiae yang mendukung konservatif maka skor 1, dan bila sebaliknya maka skor 0. Untuk menghitung peran Amicus Curiae pada kasus-kasus utama dimasukkan variabel “Salient Case” dengan indikator apabila kasus yang dihadapi muncul dalam daftar keputusan utama pengadilan di Congresional Quartely dan halaman utama New York Times, mendapat skor 2. Jika hanya muncul di salah satunya mendapat skor 1, dan bila sama sekali tidak muncul di keduanya mendapat skor 0. Semua proses pemberian skor dan penghitungan adalah gunanya untuk kemudian disatukan berdasarkan kasus dan kemudian akan didapatkan hasil poin tertentu yang menunjukkan sebesar apa dukungan atau pengaruh Amicus Curiae dalam putusan Pengadilan Tinggi AS.
Dari beberapa perhitungan model 1 dan tabel yang disajikan, Collins dapat menarik kesimpulan bahwa keputusan Juri sangat dipengaruhi oleh jumlah Amicus Curiae yang disampaikan dari tiap sisi. Dikatakan bahwa 3 Amicus Curiae mendukung liberal dan 0 mendukung konservatif, maka ada kecenderungan 5% bahwa kasus akan diselesaikan dengan pandangan liberal, namun apabila posisi dibalik, hanya 3,5% kecenderungan Juri mengambil langkah konservatif terhadap kasus. Ada tambahan bahwa peningkatan kecenderungan Juri atas ideologi putusan hanya dipengaruhi beberapa Amicus Curiae pertama, apabila awalnya hanya 5 Amicus Curiae yang mendukung liberal, kemudian meningkat menjadi 10, maka pengaruhnya terhadap Juri lebih besar daripada peningkatan dukungan terhadap liberal dari 30 Amicus Curiae menjadi 35 Amicus Curiae. Selain itu kecenderungan memutuskan kasus secara liberal juga dipengaruhi 4 hal yaitu apabila: a. Pengadilan bersifat liberal, b. pengadilan rendah memberikan putusan konservatif, c. penggugat liberal mendapat peringkat lebih tinggi, dan d. penggugat konservatif mendapat peringkat lebih rendah.

Intinya adalah bahwa pengambilan kebijakan di Pengadilan Tinggi AS lebih dari sekedar fungsi nilai dan sikap pengadilan. Karena di luar itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi putusan akhir Pengadilan yang mungkin dianggap tidak terlalu berhubungan. Amicus Curiae sendiri memainkan peran penting dalam 2 hal yang sudah disebutkan diatas yaitu mempengaruhi putusan Pengadilan Tinggi dan memberikan arahan ideologi.

Sabtu, 12 Januari 2013

Keamanan dan Sistem Politik : Kudeta Militer Philipina terhadap Presiden Gloria Macapagal Arroyo 2007


Keamanan dan Sistem Politik : Kudeta Militer Philipina terhadap
Presiden Gloria Macapagal Arroyo 2007

oleh : Azizah Syiami Mutik (F1I011015)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Isu-isu keamanan dewasa ini tidak hanya terpusat pada keamanan tradisional, tetapi telah merambah aspek kehidupan lainnya seperti politik, sosial, budaya, lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan dibahas hubungan keamanan dan sistem politik dengan studi kasus Kudeta Militer Philipina terhadap Gloria Macapagal Arroyo pada 2007.
Dunia perpolitikan nasional Philipina berulangkali diwarnai kudeta, bahkan sebelum Presiden Gloria Magapagal Arroyo duduk sebagai pemimpin Philipina. Presiden Philipina sebelumnya yaitu Joseph Estrada pun tumbang setelah dihantam kudeta pada 2001 saat dirinya terlibat banyak kasus korupsi. Setelah itu kepemimpinan Philipina dipegang oleh Arroyo sejak 2001. Meski kedudukan Arroyo didukung oleh masyarakat luas dan militer, namun tidak menutup adanya kemungkinan kudeta.
Pada 2003 silam muncul kembali kudeta dari beberapa aktor politik dan militer yang menginginkan turunnya Arroyo dari kepemimpinan Philipina. Politisi dan sekitar 9 perwira militer ikut terlibat. Namun kudeta yang bertujuan menggalang people power ini gagal karena tidak mendapat respon dari masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, Penulis dapat merumuskan poin pertanyaan yaitu:
1.      Bagaimana berjalannya kudeta politik di Philipina pada 2007?
2.      Bagaimana pengaruh keamanan tradisional (dalam hal ini kekuatan militer) dalam sistem politik Philipina masa kudeta?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kudeta Philipina
Akhir November 2007 lalu, kepemimpinan Presiden Gloria Macapagal Arroyo kembali diguncang kudeta. Kali ini bukan hanya militer yang turun tangan, salah seorang senator yang juga letnan ikut terlibat. Motivasi kudeta ini tidak lain masalah pemerintahan yang korup dan political distrust terhadap pemimpin negaranya yang dianggap tidak mampu mengatasi masalah-masalah pemerintahan, serta memprotes buruknya kesejahteraan prajurit. Kudeta ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal Danilo Lim dan Letnan Antonio Trillanes IV yang juga menjabat sebagai senator. Mantan Wakil Presiden Teofisto Guingona ikut terlibat dalam kudeta ini.
Upaya kudeta yang diinisiasi oleh perwira-perwira militer dengan mengerahkan sekitar 30 tentara dan melibatkan orang-orang yang sama yang mengkudeta Presiden Arroyo pada 2003 dan 2006 ini menduduki The Peninsula Manila Hotel yang terletak di Distrik Makati, pusat perekonomian Manila[1].
Para personel militer dan perwira ini menduduki The Peninsula Manila Hotel selama sekitar 6 jam sebelum akhirnya dipaksa menyerah dan menghentikan aksinya oleh tentara dan polisi bersenjata lengkap dan dilindungi kendaraan lapis baja mendesak masuk bangunan[2]. Beberapa pengamat melihat kudeta yang dimaksudkan untuk mendapat perhatian masyarakat dan memanfaatkan people power Philipina ternyata sama sekali tidak mendapat respon positif dari masyarakat Philipina, terutama Manila.
Kudeta Lim dan Trillanes yang begitu cepat ini hampir dianggap sebagai protes biasa, mengingat banyaknya usaha-usaha kudeta yang dilakukan untuk menggulingkan Presiden Arroyo, meski akhirnya selalu gagal karena Presiden Arroyo masih memegang suara mayoritas di kabinetnya.
Pasca kudeta tersebut Presiden Arroyo memerintahkan adanya jam malam di Manila dan beberapa provinsi penting lainnya untuk mencegah terjadinya kudeta serupa.


B.     Keamanan Tradisional (Militer) dalam Sistem Politik Philipina Masa Kudeta
Berdasarkan Teori National Security Allan Collins dikatakan,
“National Security is the requirement to maintain the survival of the nation-state through the use of economic, military and political power and the exercise of diplomacy. Because of the highly competitive nature of nation states, for countries with significant resources and value is based largely on technical measures and operational processes. This ranges from information protection related to state secrets to weaponry for militaries to negotiations strategies with other nation states[3].”

Berdasarkan penjelasan Allan Collins diatas dapat terlihat pentingnya peran keamanan, terutama militer untuk menjaga keberlangsungan negara. Bersama-sama dengan ekonomi dan diplomasi, ketiganya menguatkan ketahanan nasional negara. Dikatakan juga bahwa tindakan-tindakan teknis dan operasional yang mempunyai nilai sumberdaya signifikan dalam menghadapi kecenderungan alami tiap negara untuk berkompetisi adalah kerahasiaan negara dan persenjataan militer.
Dari penjelasan tersebut peran militer amat besar. Apabila diposisikan dalam kasus kudeta militer di Philipina maka ada beberapa poin yang dapat diambil berkaitan dengan peran militer dalam masa kudeta.
Pertama, yang perlu disadari adalah adanya perbedaan budaya militer antara Philipina dan beberapa negara demokratis lainnya, contohnya Indonesia. Pasca reformasi orde baru, dwifungsi ABRI dan militer dihapuskan sehingga peran militer dalam politik dan kedudukannya di dewan perwakilan tidak ada lagi. Ditambah kesadaran para petinggi militer dan polisi bahwa untuk masuk ranah politik mereka harus meninggalkan karier kemiliterannya. Bahkan kedudukan Menteri Pertahanan dan Keamanan telah dipegang sipil dan tidak lagi oleh petinggi militer.
Hal ini yang mungkin sangat berbeda dengan Philipina. Di Philipina, militer sangat berperan penting. Bahkan berkaitan dengan dipilihnya seseorang untuk naik dan menjadi Presiden pun ada dukungan non-formal yang melibatkan unsur militer. Seperti diangkatnya Presiden Arroyo menggantikan Joseph Estrada yang diawali dari pengunduran diri Arroyo dari jabatan wakil presiden; kasus korupsi yang melibatkan Estrada; protes masyarakat yang berkembang menjadi kudeta yang didukung oleh kalangan rohaniawan dan militer; dan akhirnya Arroyo dipilih untuk menggantikan Estrada memegang tampuk kepemimpinan Philipina pada 2001. Meskipun masih mendapat banyak cemoohan dari pendukung Estrada yang tidak mengakui kepemimpinannya, Arroyo tetap bertahan.
Kedua, budaya politik Philipina yang sangat berbeda dengan negara demokratis lainnya. Sekali lagi penulis mengambil contoh pembanding Indonesia. Pada dasarnya, negara yang menganut pemerintahan demokratis harus menyadari adanya potensi penyampaian pendapat secara terbuka yang menjadi salah satu ciri demokrasi. Beberapa bentuk penyampaian pendapat ada yang memang dianjurkan dan dilakukan dengan damai, seperti mimbar bebas; long march; demonstrasi; dan aksi-aksi damai lainnya. Seperti disampaikan Launa, Dosen Ilmu Politik FISIP UBK, kudeta bukanlah cara yang elegan untuk menyampaikan pendapat, dalam hal ini bisa dikatakan kekecewaan, kelompok masyarakat terhadap pemimpin. Bahkan dalam masa transisi pemerintahan pun, kudeta tidak bisa dibenarkan untuk menjatuhkan pimpinan negara.
Budaya politik yang akan dibahas adalah mengenai kebiasaan penyampaian protes di Philipina yang dilakukan dalam bentuk kudeta, terutama kudeta militer. 3 kali kudeta dalam kurun waktu 6 tahun bukanlah indikator yang baik dalam proses demokrasi suatu negara. Selain tujuan kudeta yang biasanya adalah untuk menggulingkan suatu rezim secara paksa, terlalu banyak kudeta dalam kurun waktu singkat, terutama masih dalam satu rezim malah dapat menimbulkan anggapan negatif mengenai kinerja dan kapabilitas pemimpin.
Dalam pandangan pribadi penulis, militer dan politisi Philipina yang terlibat kudeta cenderung mengabaikan langkah-langkah penyampaian aspirasi yang lebih terorganisir dan berorientasi damai. Sebagai contoh pendudukan The Peninsula Manila Hotel yang terletak di pusat perekonomian dan bisnis Manila untuk menuntut turunnya Presiden Arroyo sangat jauh dari kesan damai. Meski tidak jatuh korban jiwa, namun bentuk seperti ini sangat mengganggu bukan hanya ketertiban dan ketenangan distrik tersebut, juga mengganggu perputaran roda perekonomian Manila.
Sementara di Indonesia, demonstrasi dan aksi masa pasca reformasi masih dalam lingkup penyampaian pendapat dan protes atas kebijakan pemerintah, tidak sampai menggulingkan rezim. Aksi yang dilakukan juga masih tergolong damai dan bebas unsur militer. Polisi dan militer di Indonesia cenderung bersikap netral dan hanya berposisi mengamankan jalannya aksi serta mengantisipasi adanya kekerasan.


Peran militer Philipina yang vokal dalam politik mungkin disebabkan masih bercampurnya aktor militer dan aktor politik. Belum ada netralisasi yang jelas seperti di Indonesia dimana dwifungsi ABRI telah dihapuskan. Contohnya saja Letnan Antonio Trillanes IV yang juga menjabat sebagai senator.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kudeta militer Philipina terhadap Presiden Arroyo pada 2007 menunjukkan peran aktor keamanan yaitu militer Philipina masih sangat kental dalam ranah politik. Keterlibatan perwira-perwira militer dalam 3 kudeta di masa pemerintahan Presiden Arroyo; dukungan non-formal militer terhadap pemimpin terpilih; dan dwisungsi militer di pemerintahan  menunjukkan bahwa militer sangat berpengaruh terhadap politik suatu negara, dalam hal ini Philipina.
Apabila dibandingkan dengan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi di Asia Tenggara, demokrasi di Philipina belum netral dan bebas nilai. Penyampaian aspirasi juga masih sangat tradisional, dimana saat satu kelompok tidak puas atau terdapat political distrust terhadap pemimpiin maka langsung melakukan kudeta, kurang menunjukkan budaya demokrasi yang sehat.
B.     Saran
Penulis sangat menyoroti masih adanya dwifungsi militer dalam pemerintahan Philipina. Militer sangat fokal dan berperan besar. Hal ini seharusnya diminimalisir di negara yang beraliran demokrasi. Militer seharusnya netral dari nilai-nilai politis. Ada pembedaan yang jelas dimana kursi-kursi pemerintahan seharusnya diplot untuk Sipil.
Militer dibenarkan untuk mengintervensi pemerintahan hanya apabila dalam situasi darurat tertentu yang tidak memungkinkan pemerintah berjalan dengan normal, contohnya pada masa perang.
Selain itu, publik Philipina perlu meluruskan pemahaman mengenai penyampaian aspirasi yang baik. Kudeta bukanlah cara yang appropriate untuk menyampaikan pendapat. Hal yang mungkin dapat disampaikan melalui aksi-aksi damai tidak perlu dijadikan agenda kudeta hingga mengganggu perekonomian dan aktifitas masyarakat. Belum lagi menghadapi pandangan internasional yang pastinya mempertanyakan pemerintahan yang dalam kurun waktu 6 tahun dan masih dalam satu rezim telah menuai 3 kali kudeta militer.
Dua poin yang menjadi pokok adalah netralitas militer dari pemerintahan dan budaya politik dalam hal menyampaikan aspirasi.


DAFTAR PUSTAKA