Keamanan dan Sistem
Politik : Kudeta Militer Philipina terhadap
Presiden Gloria
Macapagal Arroyo 2007
oleh : Azizah Syiami Mutik (F1I011015)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Isu-isu
keamanan dewasa ini tidak hanya terpusat pada keamanan tradisional, tetapi telah
merambah aspek kehidupan lainnya seperti politik, sosial, budaya, lingkungan,
kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan dibahas hubungan
keamanan dan sistem politik dengan studi kasus Kudeta Militer Philipina
terhadap Gloria Macapagal Arroyo pada 2007.
Dunia
perpolitikan nasional Philipina berulangkali diwarnai kudeta, bahkan sebelum
Presiden Gloria Magapagal Arroyo duduk sebagai pemimpin Philipina. Presiden
Philipina sebelumnya yaitu Joseph Estrada pun tumbang setelah dihantam kudeta
pada 2001 saat dirinya terlibat banyak kasus korupsi. Setelah itu kepemimpinan
Philipina dipegang oleh Arroyo sejak 2001. Meski kedudukan Arroyo didukung oleh
masyarakat luas dan militer, namun tidak menutup adanya kemungkinan kudeta.
Pada
2003 silam muncul kembali kudeta dari beberapa aktor politik dan militer yang
menginginkan turunnya Arroyo dari kepemimpinan Philipina. Politisi dan sekitar
9 perwira militer ikut terlibat. Namun kudeta yang bertujuan menggalang people power ini gagal karena tidak
mendapat respon dari masyarakat.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, Penulis dapat merumuskan poin pertanyaan yaitu:
1. Bagaimana
berjalannya kudeta politik di Philipina pada 2007?
2. Bagaimana
pengaruh keamanan tradisional (dalam hal ini kekuatan militer) dalam sistem
politik Philipina masa kudeta?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kudeta
Philipina
Akhir
November 2007 lalu, kepemimpinan Presiden Gloria Macapagal Arroyo kembali
diguncang kudeta. Kali ini bukan hanya militer yang turun tangan, salah seorang
senator yang juga letnan ikut terlibat. Motivasi kudeta ini tidak lain masalah
pemerintahan yang korup dan political
distrust terhadap pemimpin negaranya yang dianggap tidak mampu mengatasi
masalah-masalah pemerintahan, serta memprotes buruknya kesejahteraan prajurit.
Kudeta ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal Danilo Lim dan Letnan Antonio
Trillanes IV yang juga menjabat sebagai senator. Mantan Wakil Presiden Teofisto
Guingona ikut terlibat dalam kudeta ini.
Upaya
kudeta yang diinisiasi oleh perwira-perwira militer dengan mengerahkan sekitar
30 tentara dan melibatkan orang-orang yang sama yang mengkudeta Presiden Arroyo
pada 2003 dan 2006 ini menduduki The Peninsula Manila Hotel yang terletak di Distrik
Makati, pusat perekonomian Manila[1].
Para
personel militer dan perwira ini menduduki The Peninsula Manila Hotel selama
sekitar 6 jam sebelum akhirnya dipaksa menyerah dan menghentikan aksinya oleh
tentara dan polisi bersenjata lengkap dan dilindungi kendaraan lapis baja
mendesak masuk bangunan[2].
Beberapa pengamat melihat kudeta yang dimaksudkan untuk mendapat perhatian
masyarakat dan memanfaatkan people power
Philipina ternyata sama sekali tidak mendapat respon positif dari masyarakat
Philipina, terutama Manila.
Kudeta
Lim dan Trillanes yang begitu cepat ini hampir dianggap sebagai protes biasa,
mengingat banyaknya usaha-usaha kudeta yang dilakukan untuk menggulingkan
Presiden Arroyo, meski akhirnya selalu gagal karena Presiden Arroyo masih
memegang suara mayoritas di kabinetnya.
Pasca
kudeta tersebut Presiden Arroyo memerintahkan adanya jam malam di Manila dan
beberapa provinsi penting lainnya untuk mencegah terjadinya kudeta serupa.
B. Keamanan
Tradisional (Militer) dalam Sistem Politik Philipina Masa Kudeta
Berdasarkan Teori National Security Allan Collins
dikatakan,
“National Security is the requirement to maintain the survival of
the nation-state through the use of economic, military and political power
and the exercise of diplomacy. Because of the highly competitive nature
of nation states, for countries with significant resources and value is based
largely on technical measures and operational processes. This ranges from information
protection related to state secrets to weaponry for militaries to negotiations
strategies with other nation states[3].”
Berdasarkan
penjelasan Allan Collins diatas dapat terlihat pentingnya peran keamanan,
terutama militer untuk menjaga keberlangsungan negara. Bersama-sama dengan
ekonomi dan diplomasi, ketiganya menguatkan ketahanan nasional negara.
Dikatakan juga bahwa tindakan-tindakan teknis dan operasional yang mempunyai
nilai sumberdaya signifikan dalam menghadapi kecenderungan alami tiap negara
untuk berkompetisi adalah kerahasiaan negara dan persenjataan militer.
Dari
penjelasan tersebut peran militer amat besar. Apabila diposisikan dalam kasus
kudeta militer di Philipina maka ada beberapa poin yang dapat diambil berkaitan
dengan peran militer dalam masa kudeta.
Pertama,
yang perlu disadari adalah adanya perbedaan budaya militer antara Philipina dan
beberapa negara demokratis lainnya, contohnya Indonesia. Pasca reformasi orde
baru, dwifungsi ABRI dan militer dihapuskan sehingga peran militer dalam
politik dan kedudukannya di dewan perwakilan tidak ada lagi. Ditambah kesadaran
para petinggi militer dan polisi bahwa untuk masuk ranah politik mereka harus
meninggalkan karier kemiliterannya. Bahkan kedudukan Menteri Pertahanan dan
Keamanan telah dipegang sipil dan tidak lagi oleh petinggi militer.
Hal
ini yang mungkin sangat berbeda dengan Philipina. Di Philipina, militer sangat
berperan penting. Bahkan berkaitan dengan dipilihnya seseorang untuk naik dan
menjadi Presiden pun ada dukungan non-formal yang melibatkan unsur militer.
Seperti diangkatnya Presiden Arroyo menggantikan Joseph Estrada yang diawali
dari pengunduran diri Arroyo dari jabatan wakil presiden; kasus korupsi yang
melibatkan Estrada; protes masyarakat yang berkembang menjadi kudeta yang
didukung oleh kalangan rohaniawan dan militer; dan akhirnya Arroyo dipilih
untuk menggantikan Estrada memegang tampuk kepemimpinan Philipina pada 2001.
Meskipun masih mendapat banyak cemoohan dari pendukung Estrada yang tidak
mengakui kepemimpinannya, Arroyo tetap bertahan.
Kedua,
budaya politik Philipina yang sangat berbeda dengan negara demokratis lainnya.
Sekali lagi penulis mengambil contoh pembanding Indonesia. Pada dasarnya,
negara yang menganut pemerintahan demokratis harus menyadari adanya potensi
penyampaian pendapat secara terbuka yang menjadi salah satu ciri demokrasi.
Beberapa bentuk penyampaian pendapat ada yang memang dianjurkan dan dilakukan
dengan damai, seperti mimbar bebas; long
march; demonstrasi; dan aksi-aksi damai lainnya. Seperti disampaikan Launa,
Dosen Ilmu Politik FISIP UBK, kudeta bukanlah cara yang elegan untuk
menyampaikan pendapat, dalam hal ini bisa dikatakan kekecewaan, kelompok
masyarakat terhadap pemimpin. Bahkan dalam masa transisi pemerintahan pun,
kudeta tidak bisa dibenarkan untuk menjatuhkan pimpinan negara.
Budaya
politik yang akan dibahas adalah mengenai kebiasaan penyampaian protes di
Philipina yang dilakukan dalam bentuk kudeta, terutama kudeta militer. 3 kali
kudeta dalam kurun waktu 6 tahun bukanlah indikator yang baik dalam proses
demokrasi suatu negara. Selain tujuan kudeta yang biasanya adalah untuk
menggulingkan suatu rezim secara paksa, terlalu banyak kudeta dalam kurun waktu
singkat, terutama masih dalam satu rezim malah dapat menimbulkan anggapan
negatif mengenai kinerja dan kapabilitas pemimpin.
Dalam
pandangan pribadi penulis, militer dan politisi Philipina yang terlibat kudeta
cenderung mengabaikan langkah-langkah penyampaian aspirasi yang lebih
terorganisir dan berorientasi damai. Sebagai contoh pendudukan The Peninsula
Manila Hotel yang terletak di pusat perekonomian dan bisnis Manila untuk
menuntut turunnya Presiden Arroyo sangat jauh dari kesan damai. Meski tidak
jatuh korban jiwa, namun bentuk seperti ini sangat mengganggu bukan hanya
ketertiban dan ketenangan distrik tersebut, juga mengganggu perputaran roda
perekonomian Manila.
Sementara
di Indonesia, demonstrasi dan aksi masa pasca reformasi masih dalam lingkup
penyampaian pendapat dan protes atas kebijakan pemerintah, tidak sampai menggulingkan
rezim. Aksi yang dilakukan juga masih tergolong damai dan bebas unsur militer.
Polisi dan militer di Indonesia cenderung bersikap netral dan hanya berposisi
mengamankan jalannya aksi serta mengantisipasi adanya kekerasan.
Peran
militer Philipina yang vokal dalam politik mungkin disebabkan masih
bercampurnya aktor militer dan aktor politik. Belum ada netralisasi yang jelas
seperti di Indonesia dimana dwifungsi ABRI telah dihapuskan. Contohnya saja Letnan
Antonio Trillanes IV yang juga menjabat sebagai senator.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kudeta militer Philipina
terhadap Presiden Arroyo pada 2007 menunjukkan peran aktor keamanan yaitu
militer Philipina masih sangat kental dalam ranah politik. Keterlibatan
perwira-perwira militer dalam 3 kudeta di masa pemerintahan Presiden Arroyo;
dukungan non-formal militer terhadap pemimpin terpilih; dan dwisungsi militer
di pemerintahan menunjukkan bahwa militer
sangat berpengaruh terhadap politik suatu negara, dalam hal ini Philipina.
Apabila
dibandingkan dengan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi di Asia
Tenggara, demokrasi di Philipina belum netral dan bebas nilai. Penyampaian
aspirasi juga masih sangat tradisional, dimana saat satu kelompok tidak puas
atau terdapat political distrust
terhadap pemimpiin maka langsung melakukan kudeta, kurang menunjukkan budaya
demokrasi yang sehat.
B. Saran
Penulis
sangat menyoroti masih adanya dwifungsi militer dalam pemerintahan Philipina.
Militer sangat fokal dan berperan besar. Hal ini seharusnya diminimalisir di
negara yang beraliran demokrasi. Militer seharusnya netral dari nilai-nilai
politis. Ada pembedaan yang jelas dimana kursi-kursi pemerintahan seharusnya
diplot untuk Sipil.
Militer
dibenarkan untuk mengintervensi pemerintahan hanya apabila dalam situasi
darurat tertentu yang tidak memungkinkan pemerintah berjalan dengan normal,
contohnya pada masa perang.
Selain
itu, publik Philipina perlu meluruskan pemahaman mengenai penyampaian aspirasi
yang baik. Kudeta bukanlah cara yang appropriate
untuk menyampaikan pendapat. Hal yang mungkin dapat disampaikan melalui
aksi-aksi damai tidak perlu dijadikan agenda kudeta hingga mengganggu
perekonomian dan aktifitas masyarakat. Belum lagi menghadapi pandangan
internasional yang pastinya mempertanyakan pemerintahan yang dalam kurun waktu
6 tahun dan masih dalam satu rezim telah menuai 3 kali kudeta militer.
Dua
poin yang menjadi pokok adalah netralitas militer dari pemerintahan dan budaya
politik dalam hal menyampaikan aspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
- Chazawi, Adami. 2002. “Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara”. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
- Bertram, Christoph. 1988. “Konflik Gunia Ketiga dan Keamanan Dunia”. Jakarta: Bina Aksara.
- http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=8102&Itemid=44 (diakses pada 30 Desember 2012)
- http://www.merdeka.com/politik/internasional/militer-filipina-gagalkan-rencana-kudeta-atas-presiden-gloria-arroyo-a7xzucp.html (diakses pada 30 Desember 2012)
- http://id.scribd.com/doc/47313419/Teori-Keamanan (diakses pada 30 Desember 2012)
- http://id.wikipedia.org/wiki/Gloria_Macapagal-Arroyo (diakses pada 30 Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar